Kuarahkan pandanganku ke arah jendela pesawat yang kini tengah kunaiki. Segalanya nampak sangat kecil dari atas sini, tak lupa awan yang nampak selembut kapas ikut menemani perjalananku. Memoriku memutar balik kejadian bertahun-tahun lalu, aku yang saat itu masih kecil tak pernah membayangkan akan dapat menaiki rangkaian mesin yang bisa terbang ini. Saat itu mata kecilku hanya mampu berkilau mendamba begitu megahnya pesawat yang terbang di atas kepalaku.
Namun lihatlah, aku berada di dalam kendaraan megah itu saat ini. Kerinduan akan negara kelahiran membuat dadaku sangat sesak. Senyum terbit di bibirku bersamaan dengan helaan nafas lega saat roda pesawat akhirnya menginjak permukaan tanah. Indonesia, aku sangat merindukanmu.
Usai turun dari pesawat, dengan segera aku berjalan menuju tempat pengambilan bagasi. Aku mendapat panggilan suara dari ibuku ketika tengah menunggu dua koper besarku muncul. Dengan terpaksa aku harus menutup panggilan suara itu ketika dapat kulihat dua koperku muncul. Setelah mengecek bahwa itu adalah benar koper-koperku, aku berjalan ke luar bandara. Aku menghirup dalam-dalam udara ketika berhasil keluar dari bandara, senyumku seolah tak bisa pudar. Aku sangat bahagia.
Mobil keluargaku terlihat tak lama setelah aku keluar dari bandara. Dengan penuh kerinduan kupeluk satu persatu ayah dan ibuku. Mataku tak kuasa untuk menitikkan bulir-bulir air atas kerinduan yang sangat besar. Dapat kulihat wajah kedua orang tuaku yang kini penuh garis-garis penuaan terlihat penuh rasa rindu sekaligus bangga. Tak tunggu lama, ayahku segera menaikkan kedua koperku ke bagasi mobil. Setelah itu kami menuju rumah sederhana kami untuk melepas kerinduan lebih lama lagi.
Esoknya, usai memastikan penampilanku nampak rapi, aku berpamitan ke pada kedua orang tuaku untuk pergi ke kediaman salah satu orang yang menjadi landasan kesuksesan yang telah kucapai. Pahlawanku setelah kedua orang tuaku. Ketika taksi online yang telah kupesan datang, aku langsung saja menaikinya. Kerinduanku pada beliau juga tak kalah besar.
Sampai di sana aku langsung saja mengucap salam dan masuk ke kediamannya usai dipersilahkan. Beliau masih nampak anggun walaupun kini rambutnya tak lagi hitam, matanya terpejam menikmati lantunan musik yang ditayangkan salah satu stasiun televisi sembari duduk di atas kursi roda, tak lupa kacamata yang bertengger di atas hidungnya. Kurasa kini beliau mulai kesusahan untuk melangkah dan melihat.
Dengan pelan aku berlutut di hadapannya lalu mengelus tangannya yang berada di pahanya. “Selamat pagi, bu. Ini aku, anak didikmu.” Perlahan kedua mata itu terbuka dan tangannya yang satu membenarkan letak kacamatanya. Beliau mulai menatapku. “Oh anakku, kamu telah kembali. Lihat betapa cantik dan hebatnya dirimu! Kamu telah tumbuh menjadi wanita yang hebat.”
Tak jauh beda dari respon kedua orang tuaku ketika akhirnya dapat memelukku lagi, beliau pun begitu. Beliau mulai memelukku, menangis, dan mengelus pelan punggungku. Lagi, aku menangis lagi. “Anak didikku yang kuat, anak didikku yang hebat. Lihat betapa jauh yang sudah kamu capai, nak. Ibu bangga kepadamu, sangat bangga.”
Beliau adalah salah satu guru yang mengajar ketika aku masih di Sekolah Dasar. Kondisi ekonomi keluargaku yang dulu jauh dari cukup membuat hatinya terketuk untuk membantu pendidikanku. Ia tak segan menyisihkan sejumlah gajinya untuk membantu membayar uang SPP-ku. Dalam kesehariannya yang sibuk pun ia tak lupa untuk menyempatkan waktu untuk membantuku mempelajari berbagai mata pelajaran di rumahnya tanpa biaya sepeserpun.
Ketika aku mulai memasuki Sekolah Menengah Pertama, ia yang tak lagi mengajarku masih saja membantu biaya sekolahku. Masih saja berusaha dengan keras ketika mengajariku materi yang sebenarnya bukan ranah beliau. Kata-kata penyemangat yang selalu ia lontarkan tak pernah absen dari bibirnya.
Puncaknya adalah ketika aku berada di Sekolah Menengah Atas. Semangat belajarku menurun, aku tak lagi sering berkunjung ke rumahnya untuk belajar. Aku mulai terjangkit kenakalan remaja, dan itu benar-benar mengerikan. Saat itu aku mulai berpikiran, untuk apa aku belajar dengan giat ketika pada akhirnya aku akan berakhir menjadi buruh serabutan?
Hingga pada suatu hari beliau datang ke rumahku, menanyai kabarku, mengajakku untuk belajar padanya lagi. Saat itu dengan tidak sengaja aku membentaknya. Aku lelah. Aku terus bertanya-tanya mengapa kehidupanku tak kunjung membaik, aku terus saja menjadi gadis miskin yang harus bekerja sangat keras untuk tetap bertahan menjadi salah satu siswi SMA. Aku menangis di pelukannya, aku mengeluarkan segala keluh kesah yang selama ini kupendam di benakku. Kata-kata penenang terus saja ia bisikkan padaku walaupun beliau telah mendengar segala keluh kesahku. Rasa yakinnya bahwa satu saat nanti kesuksesan akan berada di genggamanku sangatlah besar.
Sejak saat itu aku meyakinkan diriku sendiri untuk mulai membangun semangat belajarku kembali dan melakukan yang terbaik dalam pembelajaran. Beliau dengan tanpa menyerahnya tak henti-hentinya mencari informasi dan cara agar aku dapat mendapat beasiswa ke luar negri. Tekadnya sangat tinggi untuk melihatku berhasil. Tanpa lelah beliau terus menerus membantuku belajar dan mencarikanku buku atau jurnal yang akan sangat berguna untukku.
“Ibu, aku kini telah menerima itu, aku berhasil menerima gelar Bachelor of Social Science di University of Newcastle. Semuanya tak lepas dari kerja keras dan doa-doamu, bu.”
Bahkan hingga satu saat nanti dimana aku akan menerima kesuksesan yang lebih besar lagi. Aku akan terus mensyukuri kehadiran beliau di hidupku. Beliau adalah perantara pertolongan Tuhan kepadaku. Once a teacher, forever a teacher. Beliau akan selalu menjadi guruku, guruku yang bekerja dengan sangat keras.